12 Agustus 2011

..renungan..


Sebut saja namanya Tika,

Tika adalah penderita kanker, yang menurut dokter bisa bertahan selama 6 bulan.

Tika yang sehari-hari ceria, saat mengetahui tentang kondisi penyakitnya, dan vonis dokter, hari-harinya diisi dengan tangisan. Sepanjang hari.

Entah apa maksud dari tangisan tersebut, apakah karena vonis yang dijatuhkan untuk dirinya karena hidupnya tidak lama lagi, atau karena penyesalan yang teramat dalam atas apa yang telah dilakukannya, atau karena ia belum berbuat banyak selama ini, yang bisa menjadi manfaat bagi orang lain. Entahlah. Tidak ada yang tahu. Karena ia tidak bercerita. Hari-harinya dihabiskan untuk menangis dan mengurung diri dikamar. Sanak saudara yang berkunjung pun tak pernah berani untuk berkata banyak. Takut menyinggung, katanya. Maklumlah kondisi Tika bukan dalam kondisi yang baik untuk menerima masukan, nasehat dlsbg. Ia hanya butuh support, dan itupun harus disampaikan dengan sangat santun dan hati-hati sekali.



Lain hal nya dengan Jono, sebut saja begitu. Ia tampak aktif dalam kesehariannya, walaupun dokter memvonis sisa umurnya tinggal 3 bulan lagi, karena penyakit yang dideritanya.

Ia berpendapat bahwa dokter bisa saja salah, walaupun dengan perhitungan yang ‘super’ matang. Dokter tetaplah seorang manusia. Dia bukan Tuhan, yang dapat menentukan umur seseorang. Namun walaupun demikian, Jono tetaplah Jono, seorang manusia biasa, yang apabila mendapat informasi yang kurang baik (atau yang mengejutkan) tentulah sedikit banyak mempengaruhi jiwanya. Jono yang dikenal suka menunda-nunda berbuat kebaikan, kini menjadi Jono yang terdepan. Dan ia akan terus berusaha melakukan yang terbaik, yang bermanfaat bagi banyak orang. Termasuk ibadahnya semakin hebat. Tidak hanya yang wajib, yang sunah pun dikerjakannya.



Dua tipe yang berbeda.



Haruskah kita berlaku seperti itu, ketika kita diberikan informasi tentang umur kita ?

tentang berapa lama lagi kita akan menjalani hidup ?



Dan bahkan ada yang hidup semaunya, ketika ia divonis hidupnya tidak akan lama lagi.

Orang tuanya membebaskannya, memberikan segala apa yang dimintanya. Dengan kata lain memberikan ‘kebahagian’ semasa hibupnya. Mumpung masih hidup, katanya.



Yang jadi pertanyaan besar adalah siapa yang harus lebih khawatir, orang yang tahu hidupnya sebentar lagi atau orang yang tidak tahu kapan masa hidupnya berakhir ?



Kita-kita lah yang tidak tahu kapan hidup kita akan berakhir.

Mungkin tahun depan

Mungkin bulan depan

Mungkin minggu depan

Mungkin besok

Atau bahkan mungkin hari ini kita tidak sampai kerumah, menemui orang-orang yang kita cintai.



Apa yang sudah kita persiapkan?



Haruskah kita menunggu vonis dari dokter ?





Sam - 21 September 2010

Tidak ada komentar:

Mohon Maaf

Assalamu'alaykum, Di hari yang mulia ini Di hari yang telah lalu dan yang akan datang Mohon maaf atas segala salah dan khilaf Mohon maaf...