“Sorry ya Bro, gw gak like"
“Sorry ya Bro, gw gak like”
Begitu personal chat yang dikirim oleh seorang teman,
ketika postingan saya yang menurutnya agak keras. Biasanya tentang politik atau
kritikan terhadap kelompok tertentu, atau tentang dakwah yang kontennya tidak
meng-enakkan hatinya, padahal disertai dalil-dalil yang jelas yang sudah
menjadi keputusan jumhur atau bisa jadi tentang sesuatu hal yang kalau dia berikan
‘like’ maka takut dianggap sebagai pendukungnya dimana komunitasnya atau
orang-orang yang berada didekatnya adalah kelompok ‘semacam’ liberal yang
maunya bebas berekspresi sesuai dengan kehendak hatinya.
Aneh memang.
Berada atau sudah terpengaruh dengan pemikiran liberal dimana
kebebasan adalah jalan hidupnya namun membatasi kebebasan orang lain dalam
berekspresi atau menyampaikan pendapat.
Jujur ya pren, gw gak butuh banyak like.
Juga gak butuh banyak yang komen.
Udah kebaca aja sama orang lain udah bersyukur. Mudah-mudahan jadi ladang amal. Setidaknya
sebenarnya itu juga yang jadi pemikiran banyak orang, dimana tidak banyak orang
yang sanggup menyampaikannya dengan berbagai alasan.
Contohnya, postingan tentang elgebete. Secara naluri kita
semua (sebagian besar dan lebih dari 99 persen) menolak hal itu, namun karena
takut dibilang tidak toleran atau takut dianggap melanggar hak asasi, maka kita
takut menyuarakan penolakannya bahkan untuk sekedar like aja gak berani. Disisi
lain mereka takut banget kalau anak keturunannya ‘mengidap’ virus tersebut.
Saya cuma mau bilang, bahwa pilihan tersebut menjijikan. Yaitu
pilihan untuk diam dalam masalah ini.
“Sorry ya Bro, gw gak butuh di like”
Komentar