25 Juli 2012

Kerajaan Allah

Eramuslim.com | Media Islam Rujukan,
 Blessed is He in whose hand is the domination; and He is able to do all things. Maha Suci Allah yang ditangan Nyalah segala Kerajaan dan Dia maha kuasa atas segala sesuatu. (QS Al Qur’an, 67:1)


Maha suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan


Para thagut sejak awal telah mengetahui pengaruh agama ini terhadap kekuasaan mereka, ketika mendengar kalimat tauhid yang dibawa oleh para Rasul, telah dipahami realitasnya oleh masyarakat awam sekalipun saat itu, seorang arab dengan kepolosannya dan hati bersih ketika mendengar Rasul Saw mengajak ummat manusia agar bersaksi tidak ada sesembahan yang dipatut selain Allah dan Muhammad utusan Allah, mengatakan: ini adalah masalah yang tidak disukai oleh para raja, lalu seorang lelaki lainnya berkata kepadanya: Jika demikian pasti orang orang arab dan juga non arab akan memerangimu hai Muhammad.

Yang menjadi pertanyaan, kenapa kalimat tersebut akan diperangi dan tidak disukai raja atau para penguasa?, hal ini digambarkan pada Al qur-an, dengan mencela habis-habisan para penguasa yang mengaku tuhan dimuka bumi, mereka menjadikan hamba hamba Allah sebagai hamba-hamba mereka, seperti Namruz yang zalim itu mengaku bisa menghidupkan dan mematikan, seolah olah dia tuhan semesta alam yang mampu menghidupkan dan mematikan, dia memaksa orang untuk mengikutinya, seperti orang mengikuti tuhan Ibrahim. 

Keangkuhan Namruz dalam mempertahankan klaimnya bahwa dia mampu menghidupkan dan mematikan sampai ketingkat mendatangkan dua orang lelaki, lalu dia bunuh yang satu dan dia biarkan hidup yang satunya lagi, kemudian dia berkata, ini sudah saya matikan, dan ini saya hidupkan, bukankah saya mampu menghidupkan dan mematikan.

Begitu pula Fir’aun yang mengatakan kepada kaumnya, "saya adalah tuhanmu yang paling tinggi", kemudian dengan angkuh dia mengatakan, "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku".

Al qur-an mengungkapkan juga aliansi antara tiga pihak yang keji dan tercela, yang biasanya memgelilingi penguasa yang menentang otorisasi Allah:

Pertama: 
Penguasa angkuh yang mengaku tuhan di bumi Allah, yang berlaku diktator terhadap hamba hamba Nya, penguasa ini diwakili sosok Fir'aun

Kedua:
Politikus oportunis yang menggunakan kepintaran dan pengalamannya untuk melayani kepentingan penguasa zalim, untuk memantapkan kekuasaan dan meningkatkan popularitasnya, sehingga dia selalu dipatuhi oleh rakyat. Politikus seperti ini diwakili sosok Haman.

Ketiga:
Kapitalis dan feodalis yang mengambil manfaat dari pemerintah yang zalim, Mereka mendukung pemerintahan ini dengan mengeluarkan sebagian hartanya untuk mendapatkan harta yang lebih banyak lagi dengan memeras keringat dan darah rakyat, kelompok ini diwakili oleh sosok Qarun.

Bahkan dalam kasus era Fir'aun, Qarun itu adalah kaum Musa, bukan dari kalangan Fir'aun, tapi dia berlaku zalim terhadap kaumnya, berkhianat dan dia bergabung dengan Fir'aun yang merupakan musuhnya dan Fir'aun pun menerimanya, hal ini menunjukkan bahwa kepentingan materilah yang menyatukan mereka, meskipun dari segi etnis dan keturunan mereka berbeda.

Begitu pula bila kita hayati penggalan ayat diatas: Maha suci Dia, yang didalam TanganNya sekalian Kerajaan, bila dipahami secara mendalam, akan terasa betapa Allah memberi peringatan kepada manusia makhlukNya, dalam perebutan kekuasaan dan kemegahan dalam dunia ini bahwasanya Kerajaan dan Kekuasaan yang sebenarnya hanya ada dalam tangan Allah.


Segala Kerajaan dan Kekuasaan yang ada dimuka bumi ini, bagaimanapun manusia mengejarnya, atau bagaimanapun manusia mempertahankan sekuat tenaga, tidaklah merupakan kerajaan yang sesungguhnya, dan dia tidak sebenar benarnya penguasa. Dia adalah makhluk kecil dihadapan Allah. Bagaimanapun dia seorang Presiden memerintah dengan aturannya dan memerintah dengan segenap kekuatan, kegagahan dan sewenang-wenang, namun kekuasaan seperti demikian hanyalah pinjaman belaka hanya sesaat dan tidaklah kekal.

Semua berubah, itulah peraturan yang berlaku dalam alam ini, kadang di atas kadang bisa ke bawah. Yang di bawah ke atas, yang tua mundur, yang muda maju, yang nantinya pun akan gugur pula, tak ada yang tetap.

Naiknya seorang menjadi penguasa pun hanyalah karena adanya pengakuan, setelah orang banyak mengakui, dan sering kali didukung oleh militer, barulah dia berkuasa, sedang Allah sebagai Maha Kuasa dan Maha Menentukan, tidaklah Dia berkuasa setelah mendapat dukungan, walaupun seluruh isi alam ini durhaka kepada Nya, yang akan jatuh bukan Allah, melainkan yang durhaka itu.

Dan seorang penguasa sangat tak layak untuk mengklaim bahwa dia adalah berdaulat dan berhak untuk memutuskan dan membuat aturan yang tak bersandar dengan aturan ilahi, bila penguasa tersebut tetap dengan kenekatan untuk membuat aturan tersebut, berarti dia telah menentang Allah yang memiliki kerajaan di seluruh alam ini,…bagaimana mungkin seorang raja kecil melakukan penentangan terhadap-Nya dan dipertahankan sekuat tenaga, padahal dia merupakan bagian yang sangat kecil dalam kekuasaan kerajaan Hakiki milik Allah dan kepunahan terhadapnya menanti diujung jalan yang nantinya akan dipertanggung jawabkan segala tindakannya.

Syaik Muhammad Abduh pernah menegaskan Islam tidak memberikan kekuasaan kepada siapapun, selain Allah dan Rasulnya, terhadap keyakinan atau akidah orang lain dan tidak pula untuk menguasai keimanannya. Islam tidak memberikan hak kepada siapapun dari kalangan pengikutnya untuk menghalalkan dan mengharamkan sesuatu, dibumi maupun dilangit, bahkan iman membebaskan orang mukmin dari segala bentuk kontrol antara dia dengan Allah, kecuali kontrol Allah saja, seorang muslim, betapapun tinggi dan rendah kedudukannya, tidak mempunyai hak menguasai orang lain, dia hanya mempunyai hak untuk menasehati dan membimbing.

Tentang penguasa atau pemimpin, syaikh Muhammad Abduh mengatakan, untuk memahami Al qur-an dan mengetahui hukum hukum agama, Islam tidak memberikan keistimewaan kepada penguasa atau pemimpin, dan juga tidak meninggikan karena kekuasaan itu. Perbedaan antara mereka hanya dari segi kejernihan pemikiran dan ketajaman dalam menetapkan hukum. Penguasa hanya dipatuhi selama dia berjalan di jalan yang benar dan mengikuti Al qur-an dan As sunnah, sementara kaum muslimin bertindak mengamati dan mengawasinya, bila dia menyimpang dari sistem, mereka akan membetulkannya, bila membelok, mereka akan meluruskannya dengan nasehat dan peringatan. Tidak boleh patuh kepada makhluk dalam mendurhakai Al Khaliq, bila penguasa tidak lagi mengindahkan Al qur-an dan As sunnah dalam bertindak, maka hal ini sah untuk menurunkannya dari jabatannya . 

Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Hanya Kerajaan-Nya lah, Allah berkuasa atas segala sesuatu terhadap ciptaan-Nya, tidak ada satupun yang dapat menghambat ketentuan-Nya dan tidak satupun yang dapat memperlancar hambatan-Nya. Allah Maha Kuasa, tidak ada yang menandingi-Nya. Apa yang diputuskan-Nya pastilah terjadi.

Rasanya jika kita memahami benar makna dari lanjutan ayat tersebut, timbullah rasa tentram di hati terhadap apapun yang kita hadapi di dalam perjalanan perjuangan di jalan-Nya, entah itu berhasil maupun gagal kala berjuang di dunia untuk kedaulatan-Nya asalkan kita telah memenuhi kriteria dalam berjuang di jalan Allah, kita yakin kemenangan hakiki adalah mencapai ridho-Nya. Apapun yang diputuskan-Nya adalah berbaik sangka kepada-Nya dan berharap kasih sayang-Nya untuk menggapai sebuah kemenangan hakiki.

Sebagai Raja yang hakiki, pemilik kekuasaan, baik di bumi maupun di langit, Dia lah yang menentukan segala sesuatu, segala sesuatu berkaitan dengan hal besar maupun yang kecil, seperti peredaran matahari, planet dan sebagainya hingga hal yang kecil berupa atom dan prosesnya, maupun rezeki manusia, dari hamba yang diberi karunia yang besar hingga manusia yang papa yang tinggal di jalan-jalan. Allah lah yang menentukan sesuatu itu, dan setiap keputusan itu punya hikmah dibaliknya.

Itulah makna dari sifat Allah yang disebut qadir, yang biasa diartikan Maha Kuasa atau diartikan dengan yang mentakdirkan sesuatu, tetapi karena kurang kita renungkan, seringkali salah kita memahami takdir, sehingga kadang kadang kita lupa bahwa sifat Allah atau salah satu dari nama Allah yang disebut qadir kita artikan saja bahwa Allah dapat berbuat sekehendak-Nya, dengan tidak mempunyai ketentuan, seakan akan tidak mempuntai undang undang yang biasa disebut sunnatullah, padahal semuanya ada ketentuannya, yang satu bertali dan berhubungan dengan yang lain. Misalnya terjadi sebuah kebakaran besar, seseorang ingin melewati api panas yang berkobar besar untuk mencari selamat, dan dia harus melewati kobaran tersebut, ketentuannya adalah dia akan terbakar karena zat manusia tidak memiliki kekuatan terhadap sengatan api itu, dia pasti akan binasa karenanya.

Demikianlah hidup manusia, bala bencana, kematian, rezeki, keselamatan, jodoh, hujan, badai, kemenangan, kekalahan, kebahagiaan, semuanya itu adalah pertemuan diantara ketentuan dengan ketentuan, baik ketentuan besar maupun kecil, ada yang telah diketahui manusia maupun yang belum diketahui manusia, namun seluruh keadaan dalam alam ini tidaklah ada yang terlepas dari ketentuan yang telah ditentukan Allah. 

Yang diperlukan oleh manusia adalah ihtiar terhadap tujuan hidupnya didunia, sebaik baiknya amalan yang dikerjakan dan selalu berada dalam frame perjuangan dan ibadah kepada Allah, dan Allah tidak mempertanyakan hasil dari amalan manusia itu, yang dinilai oleh-Nya adalah usaha menuju keridhoan-Nya dan kita sebagai makhluk-Nya tetaplah berbaik sangka kepada-Nya dan yakinlah Allah akan menentukan sesuatu yang baik buat hamba-hamba-Nya yang beramal secara sungguh-sungguh dengan memperhatikan sunnatullah . Selalulah optimis wahai hamba yang berjuang.(MM.NST)

Syi’ah Bukan Sekte & Madzhab dalam Islam

Eramuslim.com | Media Islam Rujukan, Solo, (forum-alishlah.com) – Sebagaimana yang diketahui oleh khalayak umum, bahwa “diamnya” beberapa negara-negara muslim didunia termasuk negara Indonesia tentang konflik yang terjadi di Suriah tidak bisa dilepaskan dari pro kontra pemimpin-peminpin negeri yang sedang memegang tampuk kepemimpinan dan para ulamanya dalam melihat permasalahan tersebut.

Sebagian kaum muslimin yang sangat teguh dengan prinsip-prinsip dan kaidah Ahlu Sunnah berpendapat bahwa konflik di Suriah adalah konflik Agama. Sebab disana sedang terjadi pertarungan antara kaum muslimin Sunni yang mayoritas dengan kaum Syi’ah dari sekte Syi’ah Nushairiyyah pimpinan Bashar Al-Assad yang minoritas tapi sedang “berkuasa” di Suriah.

Dari sudut pandang yang berbeda inilah, akhirnya membuat Dunia Islam pada khususnya seperti tidak ada perhatian yang serius terhadap pertumpahan darah yang sedang berlangsung di Suriah. Padahal kaum muslimin sunni yang menjadi korban kebengisan dan kebiadaban Rezim Syi’ah Nushairiyah Bashar Assad sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Dari anak kecil sampai orang tua dan bahkan para wanita sudah menjadi korbannya, baik anak-anak kecil yang dilindas dengan tank dan buldoser, orang tua yang disembelih saat melakukan tilawah al qur’an dan sholat, hingga para muslimahnya diperkosa dan direnggut oleh kehormatannya oleh tentara Syi’ah Nushairiyyah dan milisi Syi’ah Sabihah.

Sedangkan dari Dunia Internasional yang dimotori Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) hanya melakukan “kongko-kongko” dan lobi-lobi politik dengan Pemerintah Damaskus dan Rusia tapi belum juga hasilnya dan bahkan pembantaian kaum muslimin sunni di Suriah hampir tiap hari terjadi.

Ustadz Abu Rusydan dalam kajian solidaritas dan penggalangan dana untuk kaum muslimin di Suriah dengan tajuk “SAVE SYRIA – LET’S PRAY FOR THEM” yang diselenggarakan oleh Adhwa’ dan Mahasiswa Pecinta Islam (MPI) Solo Raya dimasjid Baitul Makmur Solo Baru Sukoharjo Jawa Tengah, Ahad pagi 15/7/2012 menjelaskan dan menegaskan bahwa Syi’ah adalah sekte diluar islam dan bukan termasuk salah satu madzhab dalam islam. Karenanya sangat aneh jika ada sebagian kaum muslimin yang berkata Syi’ah adalah sebuah madzhab dari salah satu madzhab dalam islam.

“Ada yang berpendapat bahwa itu konflik Suriah itukan konflik sektarian, antara sekte Syi’ah dengan sekte Sunni. Sekali lagi saya sampaikan ayyuhal ikhwah, didalam sebuah kitab “Jaa Daurul Majus” disebutkan bahwa Syiah itu bukan sekte islam, Syi’ah itu bukan Madzhab dalam islam”, Ungkap da’i muda yang pernah berjihad ke Afghanistan tersebut.

Dalam sejarah awal kemunculan Syi’ah saja sudah bisa diketahui bahwa lahirnya Syi’ah adalah dari Majusi. Mana mungkin ada Majusi yang termasuk dalam salah satu golongan islam, sedangkan Majusi sendiri berasal dari Persi atau Persia dan mereka adalah kaum penyembah berhala.

“Tapi akar munculnya Syi’ah itu adalah dari Majusi. Bahwa hari ini Majusi sudah memegang peranan yang sangat luar biasa dengan menancapkan kuku-kukunya dan taring-taringnya didunia islam. Dan berangkatnya Syi’ah itu berasal dari balas dendamnya Majusi Persi terhadap islam, kemudian mereka berkolaborasi dengan Yahudi dan Nashrani”, Ujarnya.

Beliau kemudian menegaskan kembali bahwa konflik di Suriah adalah Perang Agama, sebab Syi’ah itu bukan termasuk golongan atau madzhab dalam islam. Dan yang lebih perlu dicatat lagi oleh kaum muslimin yaitu bahwa lahirnya Syi’ah itu khususnya Syi’ah Nushairiyyah yang sekarang berkuasa Suriah adalah pada abad ke-3 H di bawah pimpinan Muhammad bin Nashir An-Numairi, yang mengaku sebagai Nabi dan meyakini bahwa Imam Abul Hasan Al-'Askari (Imam ke-11 dari Syi'ah Ja'fariyyah Imamiyyah) adalah Tuhan.

“Jadi Syi’ah tidak boleh disebut sekte dari Islam. Tetapi sekali lagi saya sampaikan munculnya Syi’ah didunia berangkat dari gerakan Politik yang dilandasi balas dendam Majusi Persi terhadap Islam”, Tegasnya.

Kemudian beliau juga memaparkan bahwa sebetulnya antara Iran (Syi’ah), Amerika (Nasharani) dan Israel (Yahudi) adalah satu tubuh atau bersekongkol, akan tetapi untuk memuluskan rencana mereka menguasai dunia, akhirnya mereka membuat sebuah “pencitraan” dalam tubuh dunia islam khususnya yang digambarkan seakan-akan bahwa antara Iran dengan Israel yang dibantu Amerika adalah musuh. Hal ini sebenarnya hanya topeng saja untuk menutupi kebengisan kelompok Syi’ah dalam membantai kaum muslimin diberbagai tempat sejak zaman Nabi Muhammad saw hingga saat ini (Report: Iran officials told Assad to focus on Israel to divert attention from Syria crisis. www.haaretz.com 14 Mar 2012).

“Salah satu konspirasi Iran, Amerika dan Aliansi Utara nampak saat Taliban di Afghanistan jatuh, jangan sampai Ahlu sunah yang berkuasa untuk memilih pemimpin, apakah Amanulloh Khan atau yang lainnya. Akhirnya mereka memilih Hamid Karzai. Dan Hamid Karzai adalah pengikut Baha’i salah satu sekte dari Syi’ah, dan setelah saya ketahui ternyata Mahmud Abbas Syi’ah Al-Babiyah. Jadi sekali lagi, Syi’ah sampai hari ini dengan segala sektenya apapun namanya adalah Kebathilan yang kemudian diretas oleh Penjajah Barat”, Papar beliau.

Kajian yang dihadiri lebih dari 500an jama’ah tersebut diakhiri pada pukul 14.30 wib dan dana yang terkumpul dalam kajian tersebut sebesar 14 juta lebih sedikit. Dana tersebut selanjutnya akan diserahkan kepada kaum muslimin sunni di Suriah yang akan disalurkan oleh Hilal Ahmar Society Indonesia (HASI) melalui relawannya yang akan dikirim ke Suriah. (Bekti Sejati/Kru FAI)

11 Amalan Ketika Berbuka Puasa


Ketika berbuka puasa sebenarnya terdapat berbagai amalan yang membawa kebaikan dan keberkahan. Namun seringkali kita melalaikannya, lebih disibukkan dengan hal lainnya. Hal yang utama yang sering dilupakan adalah do’a. Secara lebih lengkapnya, mari kita lihat tulisan berikut seputar sunnah-sunnah ketika berbuka puasa:

Pertama: Menyegerakan berbuka puasa.

Yang dimaksud menyegerakan berbuka puasa, bukan berarti kita berbuka sebelum waktunya. Namun yang dimaksud adalah ketika matahari telah tenggelam atau ditandai dengan dikumandangkannya adzan Maghrib, maka segeralah berbuka. Dan tidak perlu sampai selesai adzan atau selesai shalat Maghrib. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ

Manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (HR. Bukhari no. 1957 dan Muslim no. 1098)

Dalam hadits yang lain disebutkan,

لَا تَزَالُ أُمَّتِى عَلَى سُنَّتِى مَا لَمْ تَنْتَظِرْ بِفِطْرِهَا النُجُوْمَ

“Umatku akan senantiasa berada di atas sunnahku (ajaranku) selama tidak menunggu munculnya bintang untuk berbuka puasa.” (HR. Ibnu Hibban 8/277 dan Ibnu Khuzaimah 3/275, sanad shahih). Inilah yang ditiru oleh Rafidhah (Syi’ah), mereka meniru Yahudi dan Nashrani dalam berbuka puasa. Mereka baru berbuka ketika munculnya bintang. Semoga Allah melindungi kita dari kesesatan mereka. (Lihat Shifat Shoum Nabi, 63)

Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berbuka puasa sebelum menunaikan shalat Maghrib dan bukanlah menunggu hingga shalat Maghrib selesai dikerjakan. Inilah contoh dan akhlaq dari suri tauladan kita shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya berbuka dengan rothb (kurma basah) sebelum menunaikan shalat. Jika tidak ada rothb, maka beliau berbuka dengan tamr (kurma kering). Dan jika tidak ada yang demikian beliau berbuka dengan seteguk air.” (HR. Abu Daud no. 2356 dan Ahmad 3/164, hasan shahih)

Kedua: Berbuka dengan rothb, tamr atau seteguk air.

Sebagaimana disebutkan dalam hadits Anas bin Malik di atas, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menyukai berbuka dengan rothb (kurma basah) karena rothb amat enak dinikmati. Namun kita jarang menemukan rothb di negeri kita karena kurma yang sudah sampai ke negeri kita kebanyakan adalah kurma kering (tamr). Jika tidak ada rothb, barulah kita mencari tamr (kurma kering). Jika tidak ada kedua kurma tersebut, maka bisa beralih ke makanan yang manis-manis sebagai pengganti. Kata ulama Syafi’iyah, ketika puasa penglihatan kita biasa berkurang, kurma itulah sebagai pemulihnya dan makanan manis itu semakna dengannya (Kifayatul Akhyar, 289). Jika tidak ada lagi, maka berbukalah dengan seteguk air. Inilah yang diisyaratkan dalam hadits Anas di atas.

Ketiga: Sebelum makan berbuka, ucapkanlah ‘bismillah’ agar tambah barokah.

Inilah yang dituntunkan dalam Islam agar makan kita menjadi barokah, artinya menuai kebaikan yang banyak.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فَإِنْ نَسِىَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فِى أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ

“Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia menyebut nama Allah Ta’ala (yaitu membaca ‘bismillah’). Jika ia lupa untuk menyebut nama Allah Ta’ala di awal, hendaklah ia mengucapkan: “Bismillaahi awwalahu wa aakhirohu (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya)”.” (HR. Abu Daud no. 3767 dan At Tirmidzi no. 1858, hasan shahih)

Dari Wahsyi bin Harb dari ayahnya dari kakeknya bahwa para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَأْكُلُ وَلاَ نَشْبَعُ. قَالَ « فَلَعَلَّكُمْ تَفْتَرِقُونَ ». قَالُوا نَعَمْ. قَالَ « فَاجْتَمِعُوا عَلَى طَعَامِكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ يُبَارَكْ لَكُمْ فِيهِ »

Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami makan dan tidak merasa kenyang?” Beliau bersabda: “Kemungkinan kalian makan sendiri-sendiri.” Mereka menjawab, “Ya.” Beliau bersabda: “Hendaklah kalian makan secara bersama-sama, dan sebutlah nama Allah, maka kalian akan diberi berkah padanya.” (HR. Abu Daud no. 3764, hasan). Hadits ini menunjukkan bahwa agar makan penuh keberkahan, maka ucapkanlah bismilah serta keberkahan bisa bertambah dengan makan berjama’ah (bersama-sama).

Keempat: Berdo’a ketika berbuka “Dzahabazh zhoma-u …”

Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا أَفْطَرَ قَالَ « ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ ».

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika telah berbuka mengucapkan: ‘Dzahabazh zhoma’u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah (artinya: Rasa haus telah hilang dan urat-urat telah basah, dan pahala telah ditetapkan insya Allah)’.” (HR. Abu Daud no. 2357, hasan). Do’a ini bukan berarti dibaca sebelum berbuka dan bukan berarti puasa itu baru batal ketika membaca do’a di atas. Ketika ingin makan, tetap membaca ‘bismillah’ sebagaimana dituntunkan dalam penjelasan sebelumnya. Ketika berbuka, mulailah dengan membaca ‘bismillah’, lalu santaplah beberapa kurma, kemudian ucapkan do’a di atas ‘dzahabazh zhoma-u …’. Karena do’a di atas sebagaimana makna tekstual dari “إِذَا أَفْطَرَ “, berarti ketika setelah berbuka.

Catatan: Adapun do’a berbuka, “Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthortu (Ya Allah, kepada-Mu aku berpuasa dan kepada-Mu aku berbuka)” Do’a ini berasal dari hadits hadits dho’if (lemah).  Begitu pula do’a berbuka, “Allahumma laka shumtu wa bika aamantu wa ‘ala rizqika afthortu” (Ya Allah, kepada-Mu aku berpuasa dan kepada-Mu aku beriman, dan dengan rizki-Mu aku berbuka), Mula ‘Ali Al Qori mengatakan, “Tambahan “wa bika aamantu” adalah tambahan yang tidak diketahui sanadnya, walaupun makna do’a tersebut shahih. Sehingga cukup do’a shahih yang kami sebutkan di atas (dzahabazh zhomau …) yang hendaknya jadi pegangan dalam amalan.

Kelima: Berdo’a secara umum ketika berbuka.

Ketika berbuka adalah waktu mustajabnya do’a. Jadi janganlah seorang muslim melewatkannya. Manfaatkan moment tersebut untuk berdo’a kepada Allah untuk urusan dunia dan akhirat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حِينَ يُفْطِرُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ

“Ada tiga orang yang do’anya tidak ditolak : (1) Pemimpin yang adil, (2) Orang yang berpuasa ketika dia berbuka, (3) Do’a orang yang terzholimi.” (HR. Tirmidzi no. 2526 dan Ibnu Hibban 16/396, shahih). Ketika berbuka adalah waktu terkabulnya do’a karena ketika itu orang yang berpuasa telah menyelesaikan ibadahnya dalam keadaan tunduk dan merendahkan diri (Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 7: 194).

Keenam: Memberi makan berbuka
.

Jika kita diberi kelebihan rizki oleh Allah, manfaatkan waktu Ramadhan untuk banyak-banyak berderma, di antaranya adalah dengan memberi makan berbuka karena pahalanya yang amat besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

“Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga.” (HR. Tirmidzi no. 807, Ibnu Majah no. 1746, dan Ahmad 5/192, hasan shahih)

Ketujuh: Mendoakan orang yang beri makan berbuka.

Ketika ada yang memberi kebaikan kepada kita, maka balaslah semisal ketika diberi makan berbuka. Jika kita tidak mampu membalas kebaikannya dengan memberi yang semisal, maka doakanlah ia.  Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا مَا تُكَافِئُونَهُ فَادْعُوا لَهُ حَتَّى تَرَوْا أَنَّكُمْ قَدْ كَافَأْتُمُوهُ

“Barangsiapa yang memberi kebaikan untukmu, maka balaslah. Jika engkau tidak dapati sesuatu untuk membalas kebaikannya, maka do’akanlah ia sampai engkau yakin engkau telah membalas kebaikannya.” (HR. Abu Daud no. 1672 dan Ibnu Hibban 8/199, shahih)

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi minum, beliau pun mengangkat kepalanya ke langit dan mengucapkan,

اللَّهُمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِى وَأَسْقِ مَنْ أَسْقَانِى

“Allahumma ath’im man ath’amanii wa asqi man asqoonii” [Ya Allah, berilah ganti makanan kepada orang yang memberi makan kepadaku dan berilah minuman kepada orang yang memberi minuman kepadaku]” (HR. Muslim no. 2055)

Kedelapan: Ketika berbuka puasa di rumah orang lain.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika disuguhkan makanan oleh Sa’ad bin ‘Ubadah, beliau mengucapkan,

أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُونَ وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ الأَبْرَارُ وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ الْمَلاَئِكَةُ

Afthoro ‘indakumush shoo-imuuna wa akala tho’amakumul abroor wa shollat ‘alaikumul malaa-ikah [Orang-orang yang berpuasa berbuka di tempat kalian, orang-orang yang baik menyantap makanan kalian dan malaikat pun mendo’akan agar kalian mendapat rahmat].” (HR. Abu Daud no. 3854 dan Ibnu Majah no. 1747 dan Ahmad 3/118, shahih)

Kesembilan: Ketika menikmati susu saat berbuka.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَطْعَمَهُ اللَّهُ الطَّعَامَ فَلْيَقُلِ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيهِ وَأَطْعِمْنَا خَيْرًا مِنْهُ. وَمَنْ سَقَاهُ اللَّهُ لَبَنًا فَلْيَقُلِ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيهِ وَزِدْنَا مِنْهُ

“Barang siapa yang Allah beri makan hendaknya ia berdoa: “Allaahumma baarik lanaa fiihi wa ath’imnaa khoiron minhu” (Ya Allah, berkahilah kami padanya dan berilah kami makan yang lebih baik darinya). Barang siapa yang Allah beri minum susu maka hendaknya ia berdoa: “Allaahumma baarik lanaa fiihi wa zidnaa minhu” (Ya Allah, berkahilah kami padanya dan tambahkanlah darinya). Rasulullah shallallahu wa ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada sesuatu yang bisa menggantikan makan dan minum selain susu.” (HR. Tirmidzi no. 3455, Abu Daud no. 3730, Ibnu Majah no. 3322, hasan)

Kesepuluh: Minum dengan tiga nafas dan membaca ‘bismillah’.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

كان يشرب في ثلاثة أنفاس إذا أدنى الإناء إلى فيه سمى الله تعالى وإذا أخره حمد الله تعالى يفعل ذلك ثلاث مرات

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa minum dengan tiga nafas. Jika wadah minuman didekati ke mulut beliau, beliau menyebut nama Allah Ta’ala. Jika selesai satu nafas, beliau bertahmid (memuji) Allah Ta’ala. Beliau lakukan seperti ini tiga kali.” (Shahih, As Silsilah Ash Shohihah no. 1277)

Kesebelas: Berdoa sesudah makan.

Di antara do’a yang shahih yang dapat diamalkan dan memiliki keutamaan luar biasa adalah do’a yang diajarkan dalam hadits berikut. Dari Mu’adz bin Anas, dari ayahnya ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَكَلَ طَعَامًا فَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى أَطْعَمَنِى هَذَا وَرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّى وَلاَ قُوَّةٍ. غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barang siapa yang makan makanan kemudian mengucapkan: “Alhamdulillaahilladzii ath’amanii haadzaa wa rozaqoniihi min ghairi haulin minnii wa laa quwwatin” (Segala puji bagi Allah yang telah memberiku makanan ini, dan merizkikan kepadaku tanpa daya serta kekuatan dariku), maka diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Tirmidzi no. 3458, hasan)

Namun jika mencukupkan dengan ucapan “alhamdulillah” setelah makan juga dibolehkan berdasarkan hadits Anas bin Malik, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ لَيَرْضَى عَنِ الْعَبْدِ أَنْ يَأْكُلَ الأَكْلَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا أَوْ يَشْرَبَ الشَّرْبَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا

“Sesungguhnya Allah Ta’ala sangat suka kepada hamba-Nya yang mengucapkan tahmid (alhamdulillah) sesudah makan dan minum” (HR. Muslim no. 2734) An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Jika seseorang mencukupkan dengan bacaan “alhamdulillah” saja, maka itu sudah dikatakan menjalankan sunnah.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 17: 51)

Demikian beberapa amalan ketika berbuka puasa. Moga yang sederhana ini bisa kita amalkan. Dan moga bulan Ramadhan kita penuh dengan kebaikan dan keberkahan. Wallahu waliyyut taufiq.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.



Source : http://eramuslim.com/berita-11-amalan-ketika-berbuka-puasa.html







02 Juli 2012

Ikhlas Dalam Niat, Hukum dan Keutamaannya (Bagian ke-4, Selesai)

g. Niat ikhlas menjadi kunci pahala dari suatu amal
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةُ الرَّجُلِ فِي جَمَاعَةٍ تَزِيدُ عَلَى صَلَاتِهِ فِي بَيْتِهِ وَصَلَاتِهِ فِي سُوقِهِ بِضْعًا وَعِشْرِينَ دَرَجَةً وَذَلِكَ أَنَّ أَحَدَهُمْ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْمَسْجِدَ لَا يَنْهَزُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ لَا يُرِيدُ إِلَّا الصَّلَاةَ فَلَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلَّا رُفِعَ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ حَتَّى يَدْخُلَ الْمَسْجِدَ فَإِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ كَانَ فِي الصَّلَاةِ مَا كَانَتْ الصَّلَاةُ هِيَ تَحْبِسُهُ وَالْمَلَائِكَةُ يُصَلُّونَ عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِي مَجْلِسِهِ الَّذِي صَلَّى فِيهِ يَقُولُونَ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ اللَّهُمَّ تُبْ عَلَيْهِ مَا لَمْ يُؤْذِ فِيهِ مَا لَمْ يُحْدِثْ  متفق عليه
dakwatuna.com - Abu Hurairah RA berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Seorang laki-laki yang melakukan shalat berjamaah (di masjid) lebih baik dua puluh derajat dibandingkan dengan shalat yang dilakukannya di pasar atau di rumah. Sebab, jika seseorang melakukan wudhu dengan baik, kemudian mendatangi masjid hanya untuk shalat, maka derajatnya akan ditinggikan satu tingkatan, dan keburukannya diampuni setiap kali ia melangkahkan kakinya hingga ia masuk masjid. Bila ia telah masuk masjid, ia diberi pahala sebagaimana orang yang melakukan shalat (sekalipun dia hanya duduk), selama ia menanti shalat (berjamaah). Para malaikat pun mendoakan seseorang, selama ia di tempat shalatnya (ia belum meninggalkan masjid). Para malaikat itu berdoa, ‘Ya Allah, berikan rahmat kepadanya. Ya Allah, ampunilah dia. Ya Allah terimalah tobatnya.’ (Doa tersebut dibaca oleh para malaikat), selama ia tidak menyakiti (orang) dan tidak berhadats.” (Muttafaq ‘alaih)
Pelajaran dari Hadits:
  1. Makruh melakukan shalat di tengah pasar karena sangat ramai sehingga sangat besar kemungkinannya tidak khusyu’.
  2. Shalat berjamaah di masjid lebih tinggi pahalanya 25, 26, atau 27 derajat daripada shalat sendirian.
  3. Ikhlas tetap menjadi kunci pahala dari suatu amal.
  4. Shalat adalah ibadah paling utama karena para malaikat berdoa untuk orang yang sedang shalat.
  5. Di antara tugas malaikat adalah berdoa untuk orang-orang beriman. Allah berfirman, “(Malaikat-malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya. Mereka beriman kepada-Nya dan memintakan ampun untuk orang-orang yang beriman…” (QS. Al-Mukmin: 7)
h. Berniat melakukan satu kebaikan ditulis satu kebaikan penuh
وعن أبي العباس عبد الله بن عباس بن عبد المطلب رضي الله عنهما عن رسول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيمَا يَرْوِي عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيرَةٍ وَمَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً  متفق عليه
Abul Abbas, Abdillah bin Abbas bin Abdul Muththalib RA berkata bahwa Rasulullah SAW meriwayatkan dari Tuhannya SWT, “Sesungguhnya, Allah mencatat[1] kebaikan dan keburukan.” Kemudian Allah menjelaskan, “Barangsiapa yang bermaksud mengerjakan kebaikan, lalu dia tidak melakukannya, maka Allah yang Mahasuci dan Mahatinggi mencatatnya sebagai satu kebaikan penuh di sisi-Nya. Jika ia bermaksud untuk melakukan kebaikan lalu dilakukannya, Allah mencatat baginya sepuluh kebaikan sampai tujuh ratus lipat, bahkan berlipat-lipat. Namun, jika ia bermaksud untuk melakukan kejelekan, lalu tidak dikerjakannya, Allah mencatatnya sebagai satu kebaikan penuh di sisi-Nya.[2] Jika ia bermaksud untuk mengerjakan keburukan lalu dikerjakan, Allah mencatatnya sebagai satu keburukan.” (Muttafaq ‘alaih)
Pelajaran dari Hadits:
  1. Orang yang berniat melakukan kebaikan, ia diberi pahala satu kebaikan karena tekad melakukan kebaikan adalah awal kebaikan, dan awal kebaikan adalah kebaikan.
  2. Orang yang berniat melakukan keburukan, lalu menjauhi keburukan tersebut karena takut kepada Allah, ia diberi pahala satu kebaikan karena niat buruk yang urung dilakukan adalah suatu kebaikan. Allah berfirman, “…Sesungguhnya, perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk…” (QS. Huud: 114)
i. Beramal dengan ikhlas menjadi sebab dimudahkannya kesulitan
وعن أبي عبد الرحمن عَبْدِ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ انْطَلَقَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَتَّى أَوَوْا الْمَبِيتَ إِلَى غَارٍ فَدَخَلُوهُ فَانْحَدَرَتْ صَخْرَةٌ مِنْ الْجَبَلِ فَسَدَّتْ عَلَيْهِمْ الْغَارَ فَقَالُوا إِنَّهُ لَا يُنْجِيكُمْ مِنْ هَذِهِ الصَّخْرَةِ إِلَّا أَنْ تَدْعُوا اللَّهَ بِصَالِحِ أَعْمَالِكُمْ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْهُمْ اللَّهُمَّ كَانَ لِي أَبَوَانِ شَيْخَانِ كَبِيرَانِ وَكُنْتُ لَا أَغْبِقُ قَبْلَهُمَا أَهْلًا وَلَا مَالًا فَنَأَى بِي فِي طَلَبِ شَيْءٍ يَوْمًا فَلَمْ أُرِحْ عَلَيْهِمَا حَتَّى نَامَا فَحَلَبْتُ لَهُمَا غَبُوقَهُمَا فَوَجَدْتُهُمَا نَائِمَيْنِ وَكَرِهْتُ أَنْ أَغْبِقَ قَبْلَهُمَا أَهْلًا أَوْ مَالًا فَلَبِثْتُ وَالْقَدَحُ عَلَى يَدَيَّ أَنْتَظِرُ اسْتِيقَاظَهُمَا حَتَّى بَرَقَ الْفَجْرُ فَاسْتَيْقَظَا فَشَرِبَا غَبُوقَهُمَا اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَفَرِّجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ مِنْ هَذِهِ الصَّخْرَةِ فَانْفَرَجَتْ شَيْئًا لَا يَسْتَطِيعُونَ الْخُرُوجَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ الْآخَرُ اللَّهُمَّ كَانَتْ لِي بِنْتُ عَمٍّ كَانَتْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيَّ فَأَرَدْتُهَا عَنْ نَفْسِهَا فَامْتَنَعَتْ مِنِّي حَتَّى أَلَمَّتْ بِهَا سَنَةٌ مِنْ السِّنِينَ فَجَاءَتْنِي فَأَعْطَيْتُهَا عِشْرِينَ وَمِائَةَ دِينَارٍ عَلَى أَنْ تُخَلِّيَ بَيْنِي وَبَيْنَ نَفْسِهَا فَفَعَلَتْ حَتَّى إِذَا قَدَرْتُ عَلَيْهَا قَالَتْ لَا أُحِلُّ لَكَ أَنْ تَفُضَّ الْخَاتَمَ إِلَّا بِحَقِّهِ فَتَحَرَّجْتُ مِنْ الْوُقُوعِ عَلَيْهَا فَانْصَرَفْتُ عَنْهَا وَهِيَ أَحَبُّ النَّاسِ إِلَيَّ وَتَرَكْتُ الذَّهَبَ الَّذِي أَعْطَيْتُهَا اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ فَانْفَرَجَتْ الصَّخْرَةُ غَيْرَ أَنَّهُمْ لَا يَسْتَطِيعُونَ الْخُرُوجَ مِنْهَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ الثَّالِثُ اللَّهُمَّ إِنِّي اسْتَأْجَرْتُ أُجَرَاءَ فَأَعْطَيْتُهُمْ أَجْرَهُمْ غَيْرَ رَجُلٍ وَاحِدٍ تَرَكَ الَّذِي لَهُ وَذَهَبَ فَثَمَّرْتُ أَجْرَهُ حَتَّى كَثُرَتْ مِنْهُ الْأَمْوَالُ فَجَاءَنِي بَعْدَ حِينٍ فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ أَدِّ إِلَيَّ أَجْرِي فَقُلْتُ لَهُ كُلُّ مَا تَرَى مِنْ أَجْرِكَ مِنْ الْإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ وَالرَّقِيقِ فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ لَا تَسْتَهْزِئُ بِي فَقُلْتُ إِنِّي لَا أَسْتَهْزِئُ بِكَ فَأَخَذَهُ كُلَّهُ فَاسْتَاقَهُ فَلَمْ يَتْرُكْ مِنْهُ شَيْئًا اللَّهُمَّ فَإِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ فَانْفَرَجَتْ الصَّخْرَةُ فَخَرَجُوا يَمْشُونَ متفق عليه
Abu Abdurrahman, Abdullah bin Umar bin Khaththab RA berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Tiga orang dari kaum sebelum kalian berjalan-jalan hingga mereka bermalam di sebuah gua. (Tiba-tiba), sebuah batu besar jatuh dari gunung, dan menutup pintu gua. Mereka berkata, “Tidak akan ada yang mampu menyelamatkan kita dari batu besar ini, kecuali jika kita berdoa kepada Allah dengan amal baik kita.”
Orang pertama berkata, “Ya Allah, aku memiliki dua orang tua yang sudah lanjut usia. Aku tidak pernah mendahulukan keluarga atau budak untuk minum susu (di sore hari) sebelum mereka berdua. Pada suatu hari, aku terlalu jauh mencari pepohonan (kayu bakar) hingga aku tidak pulang kecuali keduanya sudah tidur. Lalu, aku memerah susu untuk mereka, tapi mereka sudah tidur.
Aku tidak ingin membangunkan mereka, tapi aku juga tidak ingin memberikan susu itu kepada keluargaku (anak dan istri) atau budak. Gelas itu tetap di tanganku menanti kedua orang tuaku bangun hingga fajar terbit. Padahal, anak-anak menjerit kelaparan di kakiku. Keduanya (ayah dan ibu) bangun lalu meminum air susu itu. Ya Allah, jika perbuatanku itu untuk mencari keridhaan-Mu, maka singkirkanlah batu ini.” Batu itu pun bergeser, namun mereka belum bisa keluar.
Laki-laki yang lain berkata, “Ya Allah, sesungguhnya, aku mempunyai sepupu wanita yang sangat aku cintai.” Di dalam riwayat lain disebutkan, “Aku sangat mencintainya, sebagaimana seorang laki-laki mencintai seorang wanita. Aku menginginkan dirinya (ingin menggaulinya), namun dia selalu menolak. Ketika ia ditimpa paceklik, ia datang meminta bantuan kepadaku. Aku memberinya 120 dinar dengan syarat dia mau menyerahkan dirinya untukku. Dia pun setuju. Ketika aku sudah menguasainya…” Di dalam riwayat lain disebutkan, “Ketika aku bersiap untuk menggaulinya, ia berkata, ‘Bertaqwalah kepada Allah dan jangan kamu pecahkan tutup kecuali dengan cara yang sah.’[3] Maka aku meninggalkannya, padahal dia adalah orang yang paling aku cintai. Emas (dinar) yang kuberikan kepadanya tidak aku ambil lagi. Ya Allah, jika perbuatanku itu untuk mencari keridhaan-Mu, maka berilah kami jalan keluar dari cobaan ini.” Batu itu pun bergeser, namun mereka belum juga bisa keluar.
Laki-laki ketiga berkata, “Ya Allah, aku mempunyai sejumlah buruh. Aku berikan gaji mereka, kecuali satu orang. Ia pergi (begitu saja) dan tidak mengambil gajinya. Lalu, aku kembangkan gajinya itu, hingga menjadi banyak. Beberapa tahun kemudian, ia datang kepadaku seraya berkata, ‘Tuan, berikan gajiku (yang dulu).’ Aku berkata, ‘Semua yang kamu lihat: unta, sapi, kambing, dan budak, adalah gajimu.’
‘Tuan, Anda jangan menghinaku.’
‘Aku tidak menghinamu.’
Lalu ia mengambil seluruhnya. Ia menggiring seluruh ternak itu dan tidak meninggalkan satu pun.
Ya Allah, jika perbuatanku itu untuk mencari keridhaan-Mu, maka berikan kepada kami jalan keluar dari cobaan ini.” Batu itu pun bergeser. Dan mereka bertiga bisa keluar.’” (Muttafaq ‘alaih)
Pelajaran dari Hadits:
  1. Anjuran untuk berdoa di waktu susah dan senang, dengan menggunakan amal shalih sebagai perantara.
  2. Berbuat baik kepada kedua orang tua, dan mendahulukan mereka daripada anak dan istri adalah perilaku yang sangat baik.
  3. Anjuran untuk menjauhi perkara yang dilarang, terutama ketika mampu menjauhinya untuk mendapatkan ridha Allah.
  4. Memenuhi janji, bisa memegang amanah, dan tidak mempersulit urusan dalam bisnis adalah perilaku yang sangat baik.
  5. Doa yang didasari keikhlasan dan kesungguhan serta menjadikan amal shalih sebagai pengantar, pasti terkabul.
  6. Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat amal shalih.
– Selesai
(hdn)

Catatan Kaki:
[1] Menyuruh para malaikat-Nya untuk mencatat kebaikan dan kejelekan.
[2] Karena ia tidak mengerjakan kejelekan.
[3] Jangan kamu ambil keperawananku kecuali setelah pernikahan.

Ikhlas Dalam Niat, Hukum dan Keutamaannya (Bagian ke-3)

d. Allah menilai niat yang ada di dalam hati seseorang
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ رواه مسلم
dakwatuna.com - Abu Hurairah RA, Abdurrahman bin Sakhr berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya, Allah tidak melihat tubuh dan rupamu. Akan tetapi, Dia melihat hatimu.” (Muslim)
Pelajaran dari Hadits:
  1. Pahala suatu amal sesuai dengan niat dan keikhlasan orang yang melakukannya.
  2. Seorang muslim harus memperhatikan kondisi hatinya, dan membersihkannya dari sifat-sifat yang dibenci Allah SWT.
  3. Perbaikan hati harus lebih diutamakan daripada perbaikan amal atau perbuatan.
e. Yang membedakan satu amal dengan yang lainnya adalah niat
وَعَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الرَّجُلِ يُقَاتِلُ شَجَاعَةً وَيُقَاتِلُ حَمِيَّةً وَيُقَاتِلُ رِيَاءً أَيُّ ذَلِكَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ متفق عليه
Abu Musa, Abdullah bin Qais Al-Asy’ari RA berkata, “Rasulullah pernah ditanya oleh sebagian sahabatnya tentang seseorang yang berperang karena berani (sifatnya yang pemberani), seseorang yang berperang karena fanatisme kebangsaan, dan seseorang yang berperang karena riya’ (agar dipuji orang lain). Manakah di antara niat tersebut yang termasuk jihad di jalan Allah?” Rasulullah SAW menjawab, “Barangsiapa yang berperang untuk menegakkan kalimat Allah sebagai kalimat yang paling tinggi, maka dia berada (berjihad) di jalan Allah.” (Muttafaq ‘alaih)
Pelajaran dari Hadits:
  1. Allah akan melihat amal seseorang dari niatnya.
  2. Keutamaan orang yang berjihad hanya terbatas bagi mereka yang berjihad untuk menegakkan kalimat Allah.
  3. Orang yang meninggal di medan jihad, diperlakukan layaknya orang yang mati syahid, tidak dimandikan, tidak dikafani, dan tidak dishalatkan, tapi langsung dikubur. Sedangkan niatnya, diserahkan kepada Allah.
وعن أبي بكرة نفيع بن الحارث الثقفي رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا الْقَاتِلُ فَمَا بَالُ الْمَقْتُولِ قَالَ إِنَّهُ كَانَ حَرِيصًا عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ ِ متفق عليه
f. Manusia dibangkitkan dari kuburnya pada hari kiamat dengan niatnya sewaktu di dunia
Abu Bakrah, Nufail bin Al-Harits Ats-Tsaqafi RA berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Apabila ada dua muslim bertemu dengan membawa pedang (berusaha saling membunuh), maka orang yang membunuh dan yang dibunuh masuk neraka.” Aku (Nufail) berkata, “Ya Rasulullah, si pembunuh (sudah layak masuk neraka), sedangkan orang yang terbunuh, (mengapa ia juga masuk neraka)?” Rasulullah menjawab, “Karena ia juga ingin membunuh temannya.” (Muttafaq ‘alaih)
Pelajaran dari Hadits:
  1. Orang yang bertekad melakukan maksiat, dan sudah berusaha untuk melakukannya, maka ia mendapat dosa, baik kemaksiatan tersebut sudah ia lakukan maupun belum. Namun, jika kemaksiatan itu sekadar terlintas di pikirannya, lintasan kemaksiatan itu tidak terhitung sebagai dosa.
  2. Peringatan dari Allah kepada kaum muslimin agar tidak saling membunuh karena hal itu akan menjadikan kaum muslimin lemah, juga mengundang kemarahan Allah SWT.

Ikhlas Dalam Niat, Hukum dan Keutamaannya (Bagian ke-2)

2. Keutamaan Niat yang Ikhlas

a. Ikhlas dalam niat sebanding dengan pahala hijrah
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ النَّبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا متفق عليه ومعناه لا هجرة من مكة لأنها صارت دار إسلام
dakwatuna.com - Aisyah RA berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tiada hijrah (ke Madinah) setelah penaklukan kota Mekah.[1] Akan tetapi, (yang ada hanya) jihad dan niat.[2] Jika kamu diajak pergi berjihad, pergilah.” (Muttafaq ‘alaih)
Maksudnya hijrah dari mekah, karena Mekah telah menjadi negeri Islam.
Pelajaran dari Hadits:
  1. Jika suatu negara menjadi negara Islam, tidak ada keharusan berhijrah dari negara tersebut.
  2. Hijrah tetap wajib bagi seorang muslim yang tinggal di negara kafir yang tidak memberikan kesempatan baginya untuk melaksanakan ajaran Islam.
  3. Seorang muslim harus senantiasa mempunyai niat untuk berjihad, mempersiapkan jihad, dan memenuhi panggilan jihad ketika genderang jihad telah ditabuh.
b. Seorang mukmin mendapatkan pahala karena niatnya sekalipun tidak mengerjakan niatnya itu karena uzur
وَعَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ جَابِرٍ قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزَاةٍ فَقَالَ إِنَّ بِالْمَدِينَةِ لَرِجَالًا مَا سِرْتُمْ مَسِيرًا وَلَا قَطَعْتُمْ وَادِيًا إِلَّا كَانُوا مَعَكُمْ حَبَسَهُمْ الْمَرَضُ وَ فِي رِوَايَةٍ إِلَّا شَرِكُوكُمْ فِي الْأَجْرِ
Abu Abdillah, Jabir bin Abdillah Al-Anshari RA berkata, “Kami bersama Nabi SAW dalam suatu peperangan (Perang Tabuk), lalu beliau bersabda, ‘Di Madinah ada sejumlah laki-laki, kalian tidak menempuh perjalanan atau melewati lembah, kecuali mereka bersama kalian. Mereka tertahan (di rumah) karena sakit.’
Di dalam riwayat lain disebutkan, ‘Mereka mendapatkan pahala sebagaimana kalian.’” (Muslim)
Sedangkan Imam Bukhari meriwayatkannya dari jalur Anas RA, “Saat kami pulang dari Perang Tabuk bersama Nabi SAW, beliau bersabda, ‘Ada beberapa kaum di Madinah, kita tidak melewati lereng gunung atau lembah kecuali mereka selalu bersama kita. Mereka tertahan oleh uzur (sakit atau usia yang sudah tua).’”
Pelajaran dari Hadits:
Seorang muslim yang benar-benar bertekad ingin berjihad, namun tidak bisa pergi karena alasan syar’i, maka ia mendapatkan pahala jihad.

c. Ditetapkannya pahala karena niat bukan karena amal semata
وَعَنْ أبِي يَزِيْدَ مَعْنِ بْنِ يَزِيْدَ بْنِ الأَخْنَس رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَهُوَ وَأبُوْهُ وَجَدُّهُ صَحَابِيُوْنَ قَالَ كَانَ أَبِي يَزِيدُ أَخْرَجَ دَنَانِيرَ يَتَصَدَّقُ بِهَا فَوَضَعَهَا عِنْدَ رَجُلٍ فِي الْمَسْجِدِ فَجِئْتُ فَأَخَذْتُهَا فَأَتَيْتُهُ بِهَا فَقَالَ وَاللَّهِ مَا إِيَّاكَ أَرَدْتُ فَخَاصَمْتُهُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَكَ مَا نَوَيْتَ يَا يَزِيدُ وَلَكَ مَا أَخَذْتَ يَا مَعْنُ رواه البخاري
Abu Yazid, Ma’n bin Yazid bin Al-Akhnas RA[3] berkata, “Ayahku mengeluarkan beberapa dinar untuk disedekahkan. Ia meletakkannya di dekat seorang laki-laki yang berada di masjid. Aku ambil dinar itu, lalu aku bawa pulang dan kutunjukkan kepada ayah. Ayah berkata, ‘Demi Allah, aku tidak bermaksud menyedekahkannya kepadamu.’[4] Aku (Ma’n) melaporkan hal itu kepada Rasulullah SAW. Beliau bersabda, ‘Kamu mendapatkan pahala sesuai yang kamu niatkan, wahai Yazid. Sedangkan kamu, wahai Ma’n, kamu mendapatkan yang kamu ambil.’” (Bukhari)
Pelajaran dari Hadits:
  1. Sedekah boleh diberikan kepada anak atau orang tua, sedangkan zakat, tidak boleh.
  2. Pemberian sedekah atau zakat boleh diwakilkan.
  3. Setiap amalan yang diniatkan untuk beribadah baginya pahala
وعن أبي إسحاق سعد بن أبي وقاص مالك بن أهيب بن عبد مناف بن زهرة بن كلاب بن مرة بن كعب بن لؤى القرشي الزهري رضي الله عنه أحد العشرة المشهود لهم بالجنة رضي الله عنهم قال جاءني رسول الله صلى الله عليه وسلم يَعُودُنِي عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ مِنْ وَجَعٍ اشْتَدَّ بِي فَقُلْتُ إِنِّي قَدْ بَلَغَ بِي مِنْ الْوَجَعِ مَا تَرَى وَأَنَا ذُو مَالٍ وَلَا يَرِثُنِي إِلَّا ابْنَةٌ لي أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَالِي قَالَ لَا فَقُلْتُ بِالشَّطْرِ فَقَالَ لَا ثُمَّ قَالَ الثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ أَوْ كَبِيرٌ إِنَّكَ إَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ وَإِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ بِهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أُخَلَّفُ بَعْدَ أَصْحَابِي قَالَ إِنَّكَ لَنْ تُخَلَّفَ فَتَعْمَلَ عَمَلًا صَالِحًا إِلَّا ازْدَدْتَ بِهِ دَرَجَةً وَرِفْعَةً ثُمَّ لَعَلَّكَ أَنْ تُخَلَّفَ حَتَّى يَنْتَفِعَ بِكَ أَقْوَامٌ وَيُضَرَّ بِكَ آخَرُونَ اللَّهُمَّ أَمْضِ لِأَصْحَابِي هِجْرَتَهُمْ وَلَا تَرُدَّهُمْ عَلَى أَعْقَابِهِمْ لَكِنْ الْبَائِسُ سَعْدُ بْنُ خَوْلَةَ يَرْثِي لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ مَاتَ بِمَكَّةَ متفق عليه
Abu Ishaq, Sa’d bin Abi Waqqash Malik bin Uhaib bin Abdi Manaf RA (satu dari sepuluh orang yang dijamin masuk surga) berkata, “Pada tahun Haji Wada’, Rasulullah mengunjungiku yang sedang sakit parah. Aku berkata, ‘Ya Rasulullah, sakitku sangat parah. Aku adalah orang yang kaya, sedangkan ahli warisku hanya seorang anak perempuanku. Apakah aku boleh menyedekahkan dua per tiga hartaku?’
Rasulullah menjawab, ‘Jangan.’
‘Seperdua?’
‘Jangan.’
‘Sepertiga?’
‘Boleh sepertiga. Sepertiga itu sudah banyak. Lebih baik kamu tinggalkan ahli waris dalam keadaan kaya daripada kamu tinggalkan mereka dalam keadaan fakir, dan meminta-minta kepada orang lain. Jika kamu menginfakkan hartamu untuk mencari ridha Allah, kamu akan mendapatkan pahalanya, meskipun itu berupa makanan yang kamu berikan kepada istrimu.’
‘Ya Rasulullah, apakah aku di tinggalkan setelah teman-temanku.’[5]
Rasulullah menjawab, ‘Jika kamu ditinggalkan di Mekah, lalu kamu mengerjakan perbuatan (baik) untuk mencari ridha Allah, derajat dan kemuliaanmu akan ditambah. Semoga engkau tertinggal (di Mekah), sehingga beberapa kaum bisa mengambil manfaat darimu dan beberapa kaum yang lain dirugikan oleh keberadaanmu. Ya Allah, lanjutkan hijrah sahabat-sahabatku dan jangan Engkau kembalikan mereka ke tempat yang mereka tinggalkan. Akan tetapi, orang yang menderita adalah Sa’d bin Khaulah.’”
Perawi berkata, “Rasulullah SAW memberikan ungkapan belasungkawa kepadanya, karena ia meninggal dunia di Mekah.” (Muttafaq ‘alaih)
Pelajaran dari Hadits:
  1. Boleh mengeluhkan sakit yang diderita jika ada alasan yang dibenarkan, seperti untuk pengobatan atau minta didoakan oleh orang yang shalih.
  2. Boleh mengumpulkan harta dari sumber yang halal selama kewajiban harta tersebut ditunaikan.
  3. Orang yang sakit menjelang mati tidak diperbolehkan menyedekahkan atau mewasiatkan hartanya lebih dari sepertiga, kecuali mendapat izin dari ahli waris.
  4. Amal seorang muslim akan mendapatkan pahala sesuai niatnya.
  5. Memberikan nafkah kepada keluarga akan mendapatkan pahala ketika diniatkan untuk mencari ridha Allah SWT.

Ikhlas Dalam Niat, Hukum dan Keutamaannya (Bagian ke-1)

1. Hukum niat

a. Niat dalam beramal hukumnya wajib
Allah SWT berfirman,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ﴿٥﴾
“Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَٰكِن يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنكُمْ ۚ
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah. Akan tetapi, ketakwaan kamulah yang dapat mencapainya…” (QS. Al-Hajj: 37)
قُلْ إِن تُخْفُوا مَا فِي صُدُورِكُمْ أَوْ تُبْدُوهُ يَعْلَمْهُ اللَّهُ ۗ
“Katakanlah, ‘Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu memperlihatkannya, pasti Allah mengetahui.’…” (QS. Ali Imran: 29)
وَعَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِي حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ بْنِ نُفَيْل بْنِ عَبْدِ الْعُزَّى بْنِ رَيَاحِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ قَرْطٍ بْنِ رَزَاحِ بْنِ عَدِيّ بْنِ كَعْبِ بْنِ لُؤَيّ بْنِ غَالِبٍ الْقُرَشِيّ الْعَدَوِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ متفق
Amirul Mukminin, Abu Hafsh, Umar bin Khaththab RA berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW. bersabda, ‘Segala perbuatan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan (pahala) apa yang diniatkannya. Barangsiapa berhijrah (ke Madinah) untuk mencari ridha Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa berhijrah untuk mencari harta dunia atau untuk seorang perempuan yang hendak dinikahi, maka hijrahnya hanya untuk itu (tidak mendapatkan pahala di sisi Allah).’” (Muttafaq alaihi)
Pelajaran dari Hadits di atas adalah:
i. Para ulama sepakat bahwa niat adalah syarat mutlak agar suatu amal diganjar atau dibalas dengan pahala. Namun, apakah niat merupakan syarat sahnya suatu amal atau perbuatan, mereka berbeda pendapat.
Ulama Syafi’iyah menyebutkan, “Niat adalah syarat sahnya suatu amal atau perbuatan yang bersifat ‘pengantar’ seperti wudhu, dan yang bersifat ‘tujuan’ seperti shalat.”
Ulama Hanafiyah menyebutkan, “Niat hanya syarat sahnya amal atau perbuatan yang bersifat ‘tujuan’, dan bukan ‘pengantar’.”
ii. Niat dilakukan di hati, dan tidak ada keharusan untuk diucapkan.
iii. Ikhlas karena Allah merupakan salah satu syarat diterimanya amal atau perbuatan.

b. Ikhlas dalam niat syarat diterimanya amal
Manusia dibangkitkan dari kuburnya pada hari kiamat dengan niatnya sewaktu di dunia. Perhatikan hadits berikut ini:
وَعَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَغْزُو جَيْشٌ الْكَعْبَةَ فَإِذَا كَانُوا بِبَيْدَاءَ مِنْ الْأَرْضِ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ وَفِيهِمْ أَسْوَاقُهُمْ وَمَنْ لَيْسَ مِنْهُمْ قَالَ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ ثُمَّ يُبْعَثُونَ عَلَى نِيَّاتِهِمْ متفق عليه هذا لفظ البخاري
Ummul Mukminin, Ummu Abdillah, Aisyah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Satu pasukan tentara akan menyerang Ka’bah. Ketika tiba di suatu tanah lapang, mereka semua dibenamkan (ke tanah).”
Aisyah bertanya, “Ya Rasulullah, mengapa mereka dibinasakan semuanya. Padahal, di antara mereka terdapat kaum awam (yang tidak mengerti persoalan) dan orang-orang yang bukan golongan mereka (mereka ikut karena dipaksa)?”
Rasulullah bersabda, “Mereka semua dibinasakan. Kemudian mereka akan dibangkitkan (pada hari Kiamat) sesuai niat mereka.” (HR. Muttafaq ‘alaih)
Ada beberapa pelajaran dari hadits di atas, antara lain sebagai berikut:
i. Perhitungan kebaikan dan keburukan didasarkan pada niat.
ii. Peringatan untuk tidak berteman dengan orang-orang yang tidak baik.
iii. Anjuran untuk berteman dengan orang-orang baik.
iv. Berita dari Rasulullah tentang perkara-perkara gaib yang harus dipercaya apa adanya. Kita juga wajib percaya bahwa perkara-perkara itu akan terjadi sebagaimana diberitakan karena semua yang dikatakan Rasulullah adalah wahyu.

Mohon Maaf

Assalamu'alaykum, Di hari yang mulia ini Di hari yang telah lalu dan yang akan datang Mohon maaf atas segala salah dan khilaf Mohon maaf...